Jakarta, (SHR) 5 Desember 2025 Di tengah situasi duka akibat bencana Tanah Kangsor dan banjir bandang yang melanda wilayah Tapanuli, masyarakat kembali dikejutkan dengan terbitnya Surat Edaran Bupati Samosir Nomor 23 Tahun 2025 yang berisi imbauan agar tidak menerima bantuan dari perusahaan atau lembaga yang dianggap merusak lingkungan.
Alih-alih menjadi panduan yang menyejukkan, surat tersebut justru menuai kritik karena dinilai tidak sensitif, tidak tepat waktu, dan berpotensi menghambat aliran bantuan bagi masyarakat yang sedang sangat membutuhkan pertolongan.
Tokoh pergerakan, aktivis HAM, dan pemerhati Tapanuli, Fredi Marbun, menyampaikan kritik keras terhadap langkah Bupati Samosir tersebut.
“Ini Bukan Seruan Lingkungan, Ini Seruan yang Menambah Luka di Tengah Musibah”
Menurut Fredi, kebijakan tersebut memang terlihat moralistik dari permukaan, namun isinya dinilai dapat menimbulkan ketegangan sosial dan memperbesar penderitaan korban bencana.
“Bupati seharusnya bergandengan tangan dengan semua pihak untuk menolong masyarakat. Tetapi malah mengeluarkan seruan yang bernada menyudutkan dan menutup pintu bantuan. Ini bukan seruan lingkungan ini seruan yang menambah luka di tengah musibah,” ujarnya.
Fredi menilai bahwa ketika masyarakat masih berjuang mencari keluarga yang hilang, membersihkan lumpur, dan bertahan hidup, seruan seperti ini justru memperkeruh keadaan.
Mengorbankan Kepentingan Warga Demi Narasi yang Tidak Tepat Waktu
Fredi menyoroti bahwa surat edaran itu diterbitkan ketika kebutuhan masyarakat terhadap bantuan sangat mendesak.
“Mengapa surat seperti ini terbit saat rakyat sedang susah? Saat bantuan sangat dibutuhkan? Ketika pemerintah mengeluarkan seruan yang bisa menghambat bantuan, itu artinya pemerintah ikut mengorbankan rakyatnya sendiri,” tegasnya.
Ia menilai bahwa kebijakan tersebut lebih terlihat sebagai gestur politis daripada orientasi pada keselamatan masyarakat.
Seruan yang Berpotensi Memecah Belah, Bukan Mempersatukan
Menurut Fredi, bahasa dalam surat edaran itu terlalu general, tidak menyebutkan data yang jelas, dan berpotensi menimbulkan kecurigaan antar-masyarakat atau antar-lembaga.
“Di situasi normal saja, kebijakan yang tendensius bisa memicu konflik. Apalagi di tengah bencana. Bukannya menenangkan, surat itu justru membuka ruang kecurigaan dan stigma,” ucapnya.
Fredi menilai bahwa seorang kepala daerah seharusnya menyampaikan seruan yang menenteramkan dan inklusif, bukan menciptakan garis pemisah baru yang memperburuk kondisi psikososial masyarakat.
Pemimpin Seharusnya Hadir Membawa Kepastian dan Empati — Bukan Polarisasi
Ia menegaskan bahwa seorang pemimpin di tengah musibah harus mengutamakan empati, kehadiran, dan solidaritas, bukan mengeluarkan dokumen yang berpotensi menimbulkan salah tafsir dan konflik.
“Bupati bukan hanya pejabat, tapi simbol perlindungan. Rakyat butuh kehadiran yang membawa kepastian dan empati, bukan seruan yang berpotensi menyalakan api perpecahan,” katanya.
Penutup: Fokus Pada Korban, Bukan Pada Narasi yang Memecah Konsentrasi Penanganan Bencana
Fredi menutup pernyataannya dengan mengajak pemerintah daerah untuk lebih berhati-hati dalam mengeluarkan kebijakan publik, terutama di tengah bencana besar seperti saat ini.
“Fokuslah pada rakyat, bukan pada narasi yang bisa memecah konsentrasi penanganan bencana. Saat rakyat menangis, jangan biarkan kebijakan justru memperparah keadaan mereka. Tugas pemerintah adalah menghadirkan pertolongan, bukan membatasi tangan-tangan yang ingin membantu,” tegasnya.(Tim)

0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.