JAKARTA /// SHR // Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan Bupati Lampung Tengah, Ardito Wijaya, sebagai tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi di lingkungan Pemerintah Kabupaten Lampung Tengah, setelah melakukan operasi tangkap tangan (OTT) pada Rabu (10/12/2025) dan ekspose perkara pada Kamis (11/12/2025). Berita ini mendapatkan tanggapan tajam dari Advokat Nasional dan Mitra Kementerian Pertahanan (Kemhan) RI, Adv. Agustinus Nahak, yang berbicara langsung kepada awak media di Kantornya, Jakarta, Sabtu (13/12/2025).

“OTT yang dilakukan KPK terhadap Bupati Lampung Tengah bukan hanya berita sehari-hari, tapi bukti nyata bahwa korupsi masih menggigit inti pemerintah daerah,” tegas Adv. Agustinus Nahak dalam jumpa pers singkat. “Ini adalah peringatan keras: pilkada langsung tidak menjamin kepala daerah bebas dari godaan uang dan kekuasaan. Bahkan, seolah-olah jabatan itu menjadi ‘tiket’ untuk membalas utang kampanye dengan cara yang tercela.”

Ringkasan Kasus OTT KPK Lampung Tengah

Selain Ardito Wijaya, KPK juga menetapkan empat tersangka lainnya, yakni Riki Hendra Saputra (anggota DPRD Lampung Tengah), Ranu Hari Prasetyo (adik Ardito), Anton Wibowo (Pelaksana Tugas Kepala Badan Pendapatan Daerah Lampung Tengah), dan Mohamad Lukman Sjamsuri (Direktur PT Elkaka Mandiri). Semua tersangka langsung ditahan selama 20 hari pertama (10-29 Desember 2025) setelah penetapan status hukum mereka.

KPK mengungkapkan bahwa Ardito Wijaya menerima total aliran dana sebesar Rp 5,75 miliar, yang diduga berasal dari praktik pengondisian pemenangan proyek paket pekerjaan di lingkungan Pemkab Lampung Tengah. Sebagian besar dana diterima melalui perantaraan Riki Hendra Saputra dan Ranu Hari Prasetyo (Rp 5,25 miliar), sedangkan Rp 500 juta lainnya adalah fee dari Mohamad Lukman Sjamsuri sebagai imbalan atas pengaturan pemenangan lelang tiga paket pengadaan alat kesehatan di Dinas Kesehatan Lampung Tengah (nilai proyek Rp 3,15 miliar).

Selain itu, KPK menyita uang tunai sebesar Rp 193 juta (Rp 135 juta dari rumah Ardito dan Rp 58 juta dari rumah Ranu) serta emas 850 gram dari rumah Ranu sebagai barang bukti.

Komentar Tajam Adv. Agustinus Nahak ke Awak Media, Sabtu (13/12/2025)

Ketika ditanya tentang implikasi kasus ini terhadap kepercayaan masyarakat, Adv. Agustinus Nahak tidak ragu menyampaikan pandangan yang tajam:

“Masyarakat sudah lelah mendengar berita korupsi pejabat daerah yang terus berulang,” katanya dengan nada tegas. “Dana yang seharusnya digunakan untuk membangun jalan, rumah sakit, dan sekolah, malah masuk ke dompet pribadi dan digunakan untuk melunasi utang kampanye. Ini adalah pencurian terhadap hak rakyat yang tidak bisa dimaafkan.”

Mengenai peran KPK dalam kasus ini, ia menambahkan: “KPK telah melakukan tugasnya dengan baik dalam melakukan OTT dan mengungkap bukti. Tapi jangan sampai ini hanya ‘tampilan’ semata. Proses hukum harus berjalan cepat, tegas, dan transparan – tanpa ada ‘jalan pintas’ atau tekanan dari mana pun. Tersangka harus mendapatkan hukuman yang setimpal dengan kejahatannya.”

Sebagai Mitra Kemhan RI, Adv. Agustinus Nahak juga menekankan hubungan korupsi dengan keamanan nasional: “Korupsi tidak hanya merusak perekonomian, tapi juga menurunkan ketahanan nasional . Jika pemerintah daerah tidak bisa dpercaya mengelola anggaran, bagaimana mereka bisa bekerja sama dengan Kemhan dalam melindungi negaranya? Kerjasama antara lembaga penegak hukum, pemerintah, dan masyarakat harus diperkuat – tidak hanya dengan kata-kata, tapi dengan tindakan nyata.”

Analisis Hukum Berdasarkan UU KUHP Terbaru (UU No. 1 Tahun 2023)

Dalam analisis hukum yang ia sampaikan kepada media, Adv. Agustinus Nahak menjelaskan implikasi UU KUHP Baru terhadap kasus ini:

“Perubahan status delik korupsi menjadi delik biasa di KUHP Baru tidak berarti mengurangi bobot kejahatan,” katanya. “Sebaliknya, ini menuntut KPK bekerja lebih cermat dalam memperoleh bukti – karena tidak lagi ada kewenangan penyadapan tanpa izin pengadilan. Untungnya, dalam kasus ini, KPK telah mendapatkan bukti langsung melalui OTT, yang menjadi landasan kuat dalam penuntutan.”

Ardito Wijaya dan kawan-kawannya dijerat Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 atau Pasal 12b UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, sedangkan Mohamad Lukman Sjamsuri dikenakan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Meskipun KUHP Baru telah berlaku, pasal-pasal UU Tipikor yang belum dicabut masih menjadi dasar penuntutan, dengan memperhatikan aturan umum dalam KUHP Baru.

“Hukum harus berlaku sama bagi semua orang, tanpa pandang jabatan atau status,” tegasnya. “Jika tersangka terbukti bersalah, mereka harus dituntut sekeras mungkin – sebagai contoh bagi pejabat daerah lainnya yang berniat melakukan kejahatan yang sama.”

Penutup Komentar Adv. Agustinus Nahak

Menutup jumpa pers, Adv. Agustinus Nahak menyeru agar masyarakat tidak hanya diam mendengar berita korupsi: “Masyarakat harus menjadi ‘mata dan telinga’ pemerintah. Laporkan setiap indikasi korupsi yang Anda lihat. Hanya dengan itu, kita bisa membangun negara yang bersih, adil, dan makmur.”( Red / JL )