Zuhairi Misrawi, Ketua Moderate Muslim Society, Intelektual Muda NU, alumnus Universitas al-Azhar Mesir, Kairo
Pertama-tama perkenankan saya
mengingatkan kita semua, bahwa kita adalah negara dan bangsa yang
beragam, baik dari segi etnis, agama, maupun bahasa. Di setiap sudut dan
tempat, kita akan merasakan betapa indahnya kebhinnekaan. Saya kira di
ruangan ini saja kita bisa merasakan indahnya kebhinnekaan. Kita bisa
duduk bersama dan bercengkrema dalam suasana batin yang damai, meskipun
kita berbeda suku, agama, dan keyakinan.
Saya lahir dan besar dari tradisi
Nahdlatul Ulama, tetapi saya bersahabat dengan teman-teman dari
Ahmadiyah, Muhammadiyah, Syiah, bahkan umat dari agama-agama lain,
seperti Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu, dan lain-lain. Saya
menyadari betul perbedaan paham dan pemikiran dengan mereka, tetapi saya
menganggap mereka sebagai saudara sebangsa dan sesama makhluk Tuhan.
Imam Ali bin Abu Thalib menyatakan, jika kamu tidak bersaudara dalam
agama, maka kamu bersaudara sesama ciptaan Tuhan.
Saya memandang, bahwa kita beruntung
sekali para nenek moyang dan para pendiri bangsa mewarisi nilai,
prinsip, dan filosofi yang sangat berharga bagi keutuhan dan kebersamaan
kita. Bhinneka Tunggal Ika merupakan semboyan yang terasa
betul manfaatnya akhir-akhir ini, bahkan saya kira akan bermanfaat
sepanjang masa. Artinya, kita ditakdirkan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa
untuk menjadi bangsa dan negeri yang plural. Tapi itu saja tidak cukup,
kita diamanatkan untuk bersatu-padu membangun negeri. Jangan ada salah
satu kelompok yang kita perlakukan secara diskriminatif hanya karena
pahamnya berbeda dengan kita.
Para pendiri bangsa kita telah melahirkan Pancasila sebagai dasar negara kita. Setiap sila dalam Pancasila, Ketuhanan
Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia,
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaa dalam
permusyawaratan/perwakilan, dan keadilanan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia, merupakan satu kesatuan yang utuh. Bung Karno
menyatakan, bahwa esensi Pancasila adalah gotong-royong. Esensi
gotong-royong adalah sikap saling bahu-membahu, bersama-sama membangun
negeri tercinta ini untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi
semua warga.
Bung Karno dalam Pidato 1 Juni 1945
menegaskan, bahwa dimensi ketuhanan di dalam Pancasila adalah ketuhanan
yang berkebudayaan. Yaitu, ketika setiap warga dan umat penganut
agama-agama saling menghormati dan saling menghargai satu dengan yang
lainnya, tidak egois dan tidak pula fanatis.
Maka dari itu, kita beruntung sekali
konstitusi secara eksplisit di dalam pembukaan Undang-Undang Dasar tahun
1945 menegaskan bahwa kita akan membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Komitmen
tersebut diperjelas di dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar Tahun 1945
yang secara rinci menjunjung tinggi hak asasi manusia. Selanjutnya di
Pasal 29 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Pancasila dan Konstitusi kita yang
begitu mulia itu, hemat saya, belum menjadi laku dan perbuatan nyata.
Mengingat masih adanya diskriminasi, bahkan kekerasan terhadap kelompok
minoritas. Lembaga saya, Moderate Muslim Society memotret dan memonitor
diskriminasi dan intoleransi terhadap kelompok minoritas. Ada tiga
kelompok minoritas yang kerap mendapatkan perlakukan diskriminatif:
Ahmadiyah, Syiah, dan Kristiani.
Salah satu masalah yang dihadapi oleh
kelompok Ahmadiyah adalah kebebasan dan kemerdekaan untuk beribadah di
masjid-masjid mereka. Saya melihat secara langsung, masjid-masjid mereka
dibakar dan disegel, sehingga mereka tidak bisa beribadah secara
berjemaah, sebagaimana umat agama-agama yang lain.
Ada sebagian kelompok, bahkan pemerintah
daerah yang menjadikan Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung ,
dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia yang secara eksplisit
menjadikan Undang-Undang Nomor 1/PnPs/1965 tentang Pencegahan dan/atau
Penodaan Agama sebagai justifikasi untuk membenarkan tindakannya untuk
menghalangi warga Ahmadiyah beribadah di masjid-masjid mereka.
Ahmadiyah sudah ada di Indonesia sejak
1925, 20 tahun sebelum negeri ini memproklamasikan kemerdekaannya.
Bahkan di antara penganutnya ada yang turut berjuang mewujudkan
kemerdekaan negeri ini. Baru setelah 83 tahun, tepatnya pada tahun 2008
hingga sekarang ini, Ahmadiyah diperlakukan secara diskriminatif.
Masjid-masjid mereka disegel dan dibakar. Mereka tidak boleh
melaksanakan shalat, dan anak-anak mereka tidak bisa mengaji di
masjid-masjid yang mereka bangun secara swadaya.
Sekali lagi, mereka yang menyegel dan
membakar masjid itu menggunakan Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa
Agung , dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia yang secara
eksplisit menjadikan Undang-Undang Nomor 1/PnPs/1965 tentang Pencegahan
dan/atau Penodaan Agama. Tentu saja, selain itu karena dilandasi
kebencian dan pemahaman yang tidak utuh terhadap agama dan konstitusi.
Maka dari itu, sudi kiranya Majlis Hakim
untuk memberikan penegasan dan penafsiran terhadap Pasal 1, Pasal 2,
dan Pasal 3 UU Nomor 1 PNPS/1965, bahwa setiap orang atau kelompok tidak
bisa meniadakan hak beribadah sesuai agama dan kepercayaannya.
Permohonan ini tidak hanya berlaku bagi warga Ahmadiyah, tetapi juga
bagi warga yang lain, seperti Syiah, Kristiani, Hindu, Budha, dan
Konghucu. Negara harus menjamin kemerdekaan beribadah dan memberikan
perlindungan setiap warga negara.
Secara pribadi saya mengenal Ahmadiyah
sejak tahun 2006 dan mempelajari ajarannya dengan saksama. Bahkan, saya
juga melaksanakan shalat berjamaah dan shalat Jumat di masjid-masjid
mereka. Tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di belahan negara lainnya,
seperti Singapura, Malaysia, London, Manchester, Paris, dan lain-lain.
Saya berpandangan, bahwa banyak sekali
persamaan Ahmadiyah dengan kelompok-kelompok Muslim lainnya. Mereka
mengucapkan syahadat yang sama, melaksanakan shalat, menunaikan zakat,
puasa di bulan ramadhan, dan melaksanakan ibadah haji. Bahkan, mereka
mempunyai kebiasaan untuk melaksanakan shalat tahajud untuk meningkatkan
ketakwaan mereka. Begitu pula kitab suci mereka sama, yaitu al-Quranul
Karim.
Kalau kita shalat di masjid-masjid Ahmadiyah, kita akan mendapatkan lafadz Allah SWT dan Nabi Muhammad, begitu pula kalimat La ilaha illallah Muhammadun Rasulullah (Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah).
Dari fakta tersebut, saya berpandangan
bahwa Ahmadiyah adalah salah satu golongan dalam Islam. Hal tersebut
mengacu pada sebuah hadis Nabi, “Barangsiapa mengucapkan kalimat, Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, maka ia akan masuk surga”.
Memang ada perbedaan antara Ahmadiyah
dengan kelompok Muslim lainnya dalam soal kenabian dan Imam Mahdi,
tetapi menurut saya hal tersebut tidak menggugurkan keislaman Ahmadiyah.
Imam al-Ghazali mengatakan, “Jika dalam
diri seseorang terdapat 99% kekufuran dan hanya 1% keimanan, maka orang
tersebut mukmin”. Jika pendapat ini digunakan sebagai instrumen untuk
menilai Ahmadiyah, yang mana seluruh Rukun Iman dan Rukun Islam sudah
dilakukan oleh penganut Ahmadiyah, maka tidak ada alasan untuk tidak
menyebut mereka sebagai Muslim.
Salah satu ciri khas Ahmadiyah di
berbagai penjuru dunia adalah membangun masjid. Mereka mempunyai puluhan
ribu masjid di berbagai belahan dunia: Amerika Serikat, Eropa, Afrika,
Jepang, Timur-Tengah dan lain-lain. Sekadar informasi, masjid terbesar
di Kanada adalah Masjid Ahmadiyah. Begitu pula di London, Manchester,
Hamburg, dan lain-lain.
Dunia sekarang tahu, bahwa Ahmadiyah adalah organisasi yang berkhidmat untuk menebarkan cinta sesuai dengan slogan mereka, Love for All, Hatred for None. Ketika masjid-masjid mereka dibakar dan disegel, mereka membalasnya dengan doa. Saya kira upaya judicial review untuk meminta penjelasan dan penegasan terhadap UU PNPS/1965 adalah cerminan dari ajaran cinta Tanah Air dari Ahmadiyah.
Terus terang saja, saya sendiri malu
jika ditanyakan oleh orang-orang di luar negeri, kenapa masjid-masjid
Ahmadiyah di Indonesia dibakar dan disegel? Apakah Islam mengajarkan
umatnya untuk membakar masjid? Apakah pemerintah dan konstitusi
Indonesia tidak memberikan perlindungan terhadap penganut Ahmadiyah?
Penodaan Agama
Izinkanlah di akhir pemaparan kesaksian
saya ini menggarisbawahi perihal terma penodaan agama dalam Islam. Islam
menurut saya memberikan panduan yang jelas dan tegas perihal terma
penodaan agama. Salah satunya, sebagaimana tercantum di dalam surat
al-Ma’un, Tidakkah kamu tahu seseorang yang mendustai agama. Yaitu
orang yang menghardik anak yatim dan tidak menyediakan makanan bagi
orang-orang miskin.
Jadi sebenarnya, penodaan agama dalam
Islam tidak terkait dengan penafsiran, melainkan terkait dengan tindakan
yang mencerminkan ketidakadilan dan penindasan terhadap orang-orang
miskin, anak yatim, dan mereka yang lemah.
Adapun terkait vonis “sesat”, al-Quran memberikan panduan yang menarik di dalam surat al-Qalam ayat 7, Sesungguhnya Tuhanmu, Dia Maha Tahu siapa yang tersesat dari jalannya dan Dia Maha Tahu atas mereka yang mendapatkan petunjuk.
Namun di dalam sejarah Islam, kita
mendapatkan vonis “sesat” digunakan secara politis oleh penguasa untuk
menyingkirkan kelompok yang menjadi saingannya. Maka dari itu, kita
mendapatkan sebuah rezim dalam sejarah Islam yang menyesatkan mazhab
Ibnu Hanbal, mazhab Imam Asyari, sesuai dengan selera penguasanya pada
saat itu.
Maka dari itu, diperlukan kematangan dan
kedewasaan dalam beragama dan berbangsa. Saya secara pribadi bermimpi
setiap umat agama di negeri ini dapat beribadah dengan bebas, tanpa
ancaman dan diskriminasi. Kita harus memahami dan menerima kebhinnekaan
dalam intra-agama dan antar-agama adalah anugerah Tuhan. Bukankah di
dalam al-Quran disebutkan, bahwa Tuhan sendiri sendiri yang menghendaki
kita beragam?
Sekali lagi kita beruntung mempunyai
konstitusi yang memberikan perlindungan dan menjamin kemerdekaan
beribadah bagi setiap warga, apapun agama dan kepercayaannya.
Dalam hal ini, sudi kiranya Majlis Hakim
memberikan penjelasan bahwa Undang-Undang PNPS/1965 Pasal 1,2, dan 3
tidak bisa digunakan untuk meniadakan hak setiap warga untuk menganut
aliran dan melakukan ibadah sesuai keyakinan. Artinya, Undang-Undang
PNPS/1965 tidak bisa digunakan untuk menyegel, apalagi membakar tempat
ibadah umat agama-agama dan keyakinan di negeri tercinta ini.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.