Ada yang mempertanyakan bahwa jika Nabi Isa a.s.
dan aku telah mencapai derajat demikian, lalu derajat apakah yang
tersisa bagi junjungan dan penghulu kita, Rasul yang terbaik, Khãtamal Anbiyã, wujud yang terpilih, Yang Mulia Nabi Muhammad saw? Jawabannya adalah bahwa bagi beliau adalah derajat yang luhur dan bersifat khusus, yang tidak mungkin dicapai orang lain.”
“Tingkat kedekatan dan kasih kepada Allah swt dari sudut kerohanian, terdiri dari tiga jenis. Tingkat paling bawah (meski
pun tetap juga termasuk tinggi) adalah bara kecintaan Ilahi akan selalu
menghangatkan hatinya sedemikian rupa sehingga hati yang hangat itu
bisa mendekati sifat-sifat api namun masih kekurangan kecemerlangan api
itu sendiri. Ketika bara dari kecintaan Ilahi seperti ini ada di hati
seorang manusia maka kehangatan yang dihasilkannya di dalam kalbu
disebut sebagai rasa tenteram dan kepuasan yang terkadang disebut
sebagai sama dengan malaikat.”
“Tingkat kedua dari
kecintaan ini adalah ketika bara dari kecintaan Ilahi yang ditimbulkan
oleh penggabungan dua kecintaan telah menghangatkan hati sedemikian rupa
sehingga menghasilkan nur kecemerlangan yang tidak membakar. Keadaan
demikian disebut sebagai rohul kudus.
“Tingkat ketiga dari
kecintaan ini ialah ketika nyala api kecintaan Ilahi menyentuh dan
membakar pita-pita kecintaan manusiawi serta menguasai sepenuhnya
keseluruhan partikel hati yang bersangkutan sehingga menjadi manifestasi
sempurna dan lengkap dari kecintaan itu sendiri. Dalam keadaan seperti
ini, api kecintaan Ilahi tidak saja memberikan kecemerlangan pada hati
manusia, tetapi secara simultan menyalakan keseluruhan wujud dimana
nyalanya menerangi sekelilingnya sebagai cahaya siang hari dan wujud itu
menjadi api dengan sifat-sifatnya yang lengkap. Kondisi yang diciptakan
oleh penggabungan dari dua kecintaan yang merupa sebagai api yang
menyala disebut sebagai fitrat keamanan karena memberikan keamanan
terhadap segala kegelapan dan bebas dari segala kekaburan. Juga disebut
sebagai fitrat kekuatan karena merupakan wahyu yang paling kuat yang
tidak mungkin lebih kuat lagi. Juga dikenal sebagai cakrawala tinggi
karena merupakan manifestasi dari bentuk wahyu yang paling luhur. Juga
dikemukakan sebagai: ‘Dia melihat apa yang ia lihat’ dan kondisi demikian itu berada di luar kemampuan imajinasi segenap mahluk yang ada.”
“Kondisi demikian itu hanya dikaruniakan
kepada satu manusia saja yang merupakan manusia yang sempurna dimana
keseluruhan sistem manusia berujung pada wujud beliau dan lingkaran
fitrat manusia telah disempurnakan. Sesungguhnya beliau itu adalah
kulminasi titik tertinggi dari mahluk ciptaan Tuhan dan merupakan puncak
dari segala derajat keagungan. Kebijakan Ilahi telah memulai proses
penciptaan dari titik yang paling sederhana dan berakhir pada ciptaan
Yang Paling Mulia yaitu Yang Mulia Nabi Muhammad saw dengan
segala manifestasi keluhurannya yang sempurna. Karena kedudukan beliau
yang paling tinggi itu maka sewajarnya kepada beliau dikaruniakan wahyu
dan kecintaan pada tingkatannya yang paling mulia. Ini adalah derajat
tinggi yang tidak mungkin dicapai oleh Nabi Isaa.s. mau pun diriku.
Derajat demikian itu disebut sebagai kebersatuan dan tingkat Ketauhidan
yang sempurna. Nabi-nabi sebelumnya yang menubuatkan kedatangan Nabi
Muhammad Rasulullah saw ada menyebut tingkat derajat demikian. Adapun derajat dari Nabi Isa a.s. maupun diriku secara metafora bisa disebut sebagai derajat putra. Derajat dari Yang Mulia Rasulullah saw itu
sedemikian tingginya sehingga Nabi-nabi di masa lalu secara metafora
menggambarkan kedatangan Nabi Muhammad sebagai kemunculan Tuhan sendiri
dimana turunnya beliau digambarkan sebagai turunnya Tuhan yang Maha
Kuasa ke muka bumi.” (Tauzih Maram, Amritsar, Riyaz Hind Press; Rohani Khazain, vol. 3, hal. 62-64, London, 1984).
***
“Bukan hanya Yesus a.s. saja yang telah menubuatkan bahwa kedatangan Nabi Muhammad Rasulullah saw sebagai
kemunculan dari Tuhan yang Maha Kuasa sendiri, karena Nabi-nabi lain
pun dalam nubuatan mereka menggunakan istilah yang sama dan secara
metafora menggambarkan kedatangan Nabi Muhammad sebagai munculnya Allah
Yang Maha Kuasa dan karena wujud beliau merupakan manifestasi sempurna
dari Tuhan, lalu menyebut beliau sebagai Tuhan. Dalam Kitab Perjanjian
Lama dalam Mazmur 42 [1] diutarakan:
‘Engkau yang terelok di antara anak-anak manusia, kemurahan tercurah pada bibirmu, sebab itu Allah telah memberkati engkau untuk selama-lamanya. Ikatlah pedangmu pada pinggang, hai pahlawan, dalam keagunganmu dan semarakmu Dalam semarakmu itu majulah demi kebenaran, perikemanusiaan dan keadilan. Biarlah tangan kananmu mengajarkan engkau perbuatan-perbuatan yang dahsyat. Anak-anak panahmu tajam menembus jantung musuh raja, bangsa-bangsa jatuh di bawah kakimu. Takhtamu kepunyaan Allah, tetap untuk seterusnya dan selamanya dan tongkat kerajaanmu adalah tongkat kebenaran. Engkau mencintai keadilan dan membenci kefasikan, sebab itu Allah, Allah mu telah mengurapi engkau dengan minyak sebagai tanda kesukaan, melebihi teman-teman sekutumu’
“Ungkapan ‘Takhtamu kepunyaan Allah swt ,
tetap untuk seterusnya dan selamanya dan tongkat kerajaanmu adalah
tongkat kebenaran’ bermakna metafora yang bermaksud memperlihatkan
keluhuran derajat kerohanian daripada Yang Mulia Nabi Suci Muhammad saw ”
“Begitu pula dalam Perjanjian Lama pada Kitab Yesaya 42 [2] diungkapkan:
‘Lihat itu hamba-Ku yang Ku-pegang, orang pilihan-Ku yang kepadanya Aku berkenan. Aku telah menaruh roh-Ku keatasnya supaya ia menyatakan hukum kepada bangsa-bangsa. Ia tidak akan berteriak atau menyaringkan suara atau memperdengarkan suaranya di jalan. Buluh yang patah terkulai tidak akan diputuskannya, dan sumbu yang pudar nyalanya tidak akan dipadamkannya, tetapi dengan setia ia akan menyatakan hukum. Ia sendiri tidak akan menjadi pudar dan tidak akan patah terkulai sampai ia menegakkan hukum di bumi . . . Tuhan keluar berperang seperti pahlawan, seperti orang perang ia membangkitkan semangat-Nya untuk bertempur’
“Ungkapan ‘Tuhan keluar berperang seperti pahlawan’ merupakan deskripsi metafora dari kegagahan kedatangan Nabi Rasulullah saw Banyak
lagi Nabi-nabi lainnya yang telah menggunakan metafora ini dalam
nubuatan mereka menyangkut kabar kedatangan Nabi Muhammad Rasulullah saw ” (Tauzih Maram, Amritsar, Riyaz Hind Press; Rohani Khazain, vol. 3, hal. 65-67, London, 1984).
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.