Nabi kita, Muhammad SAW, adalah Khātam-un-Nabiyyīn, yakni nabi yang
paling mulia. Sebagai utusan Tuhan yang terbaik, beliau dianugerahi
dengan ajaran yang kāmil (sempurna) dan syāmil (menyeluruh). Hal ini
digambarkan dalam ayat:
"Pada hari ini, telah
*Kusempurnakan* agama kalian teruntuk kalian, telah *Kuparipurnakan*
juga nikmat-Ku kepada kalian, dan telah *Kuridai* pula Islam sebagai
agama kalian.” [5:3]
Dalam catatan sejarah,
ayat ini turun sehabis Asar pada Jumat, 10 Zulhijah 10 H, saat Nabi
Muhammad SAW sedang berwukuf di atas unta beliau, dalam rangkaian
manasik haji wada'[1].
Jadi, pada hari Arafah
tahun kesepuluh setelah hijrah, syariat Islam dengan kesempurnaannya
*resmi menjadi segel* yang menasakh syariat-syariat masa lampau yang
masih bercacat. Sampai hari kiamat, *hanya syariat Islamlah yang akan
langgeng dan berlaku.*
Menariknya, selaku
Khātam-un-Nabiyyīn, Nabi kita SAW tidak hanya dikaruniai ajaran yang
sempurna, tetapi juga diberi-Nya kerasulan universal yang dengannya
ajaran yang kāmil dan syāmil tadi dapat menjangkau semua bangsa dan
semua tempat di seantero dunia. Dalam Surah Al-A‘rāf ayat 158, beliau
diperintah:
"Katakanlah: Wahai manusia!
Sesungguhnya, Aku adalah rasul Allah, yang kepunyaan-Nya sajalah
kerajaan langit dan bumi, untuk kalian semuanya.”
Dengan
demikian, penasakhan Islam terhadap agama-agama terdahulu dan
kemenangannya atas mereka bisa terlaksana. Allah Taala berfirman:
“Dialah
yang telah mengutus rasul-Nya dengan petunjuk dan agama kebenaran
supaya ia memenangkannya atas semua agama kendati orang-orang musyrik
tidak menyukainya.” [61:9]
*Kedatangan ‘Īsā as*
Namun,
berbeda dengan ayat kesempurnaan Islam di atas, ayat penyebaran agama
ilahi ini *belumlah tergenapi secara utuh* pada masa hidup Nabi SAW.
Memang, pada masa hidup beliau, Islam telah mengalami keunggulan. Hanya
saja, keunggulan tersebut baru berlaku setidaknya atas lima agama saja
yang secara langsung bersinggungan dengannya, yaitu agama pagan, Yahudi,
Kristen, Majusi, serta kaum Sabean[2]. Dakwah Islam pun pada waktu itu,
selain di daerah Abbesinia[3], belum lagi menembus tapal-tapal batas
negeri-negeri Arab. Praktis, kala Nabi SAW wafat pada Rabiulawal 10 H
atau 632 M, pemerintahan dan kekuasaan Islam baru membentangi jazirah
Arab bagian barat-tengah. Semenanjung Arabia sendiri baru ditaklukkan
secara menyeluruh selama dua tahun kemudian pada era kekhalifahan Abu
Bakr ra, sedangkan Romawi dan sebagian besar Persia ditundukkan di bawah
administrasi Khalifah Umar ra. Sementara itu, sisa-sisa wilayah Dinasti
Sassania berupa Armenia, Azerbaijan, dan Khurasan jatuh ke tangan kaum
muslimin sewaktu ḤUtsman ra menjadi khalifah[4].
Lantas,
kapankah penggenapan ayat kesembilan dari Surah Az-Shaff itu akan
terjadi? Para ulama salaf sepakat bahwa *penggenapannya akan terjadi
pada masa keluarnya ‘Īsā* as. Ibnu Jarīr Ath-Thabarī (w. 310 H), setelah
mengumpulkan riwayat-riwayat dari para Sahabat ra, tabi'in, dan para
pendahulu Islam yang salih, menyimpulkan bahwa ayat tersebut akan
tergenapi saat: *“Keluarnya ‘Īsā bin Maryam as.”*[5]
Dengan
begitu, ayat kepengutusan Rasulullah SAW bagi seluruh umat manusia dan
penyebaran agama yang beliau bawa ke seluruh pelosok dunia akan
*terejawantahkan dalam sosok Īsā as yang akan datang*. Dengan kata lain,
Īsa as yang akan datang adalah *perwujudan kebangkitan kedua Nabi
Muhammad* SAW di tengah-tengah kaum akharin setelah sebelumnya beliau
muncul di antara kaum ummiyyin sebagaimana tertera dalam Surah
Al-Jumu‘ah ayat 2 dan 3.
Oleh sebab itu, beliau diriwayatkan ‘Abdullāh bin ‘Amrū ra pernah bersabda:
*"Bagaimana mungkin suatu umat yang Aku berada pada awalnya dan ‘Īsā bin Maryam as berada pada akhirnya akan binasa?”*[6]
*Masa Kegelapan*
Kendati
demikian, Nabi Muhammad SAW juga memperingatkan bahwa masa antara
beliau dan Īsa as yang dijanjikan akan dipenuhi dengan kebatilan.
Abdullah bin As-Sa‘dī ra menarasikan bahwa Nabi SAW bersabda:
"Sesungguhnya,
orang-orang terbaik dari umatku adalah golongan awalnya dan golongan
akhirnya. *Di antara keduanya terdapat kelompok masa pertengahan yang
menyimpang.* Tidaklah mereka berasal dari umatku dan Aku pun tidak
berasal dari mereka.”[7]
Golongan pertama yang
dimaksud dalam hadis di atas adalah orang-orang yang hidup pada tiga
abad pertama Islam. Kemudian, akan *muncul kelompok pertengahan yang
menyimpang* hingga Allah Taala membangkitkan ‘Īsā as yang dijanjikan.
‘Imrān bin ḤKhushain ra merawikan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda:
“Sebaik-baik
kalian adalah mereka yang hidup pada abadku, kemudian mereka yang
datang berikutnya, dan kemudian mereka yang datang berikutnya. *Setelah
itu, akan muncul orang-orang yang memberi kesaksian tanpa diminta,
berkhianat lagi tak dapat dipercaya, bernazar tanpa memenuhinya, serta
tampak pada diri mereka kegemukan.”*[8]
Ibnu ḤHajar Al-‘Asqalānī (w. 852 H), mengenai makna hadis di atas, menjelaskan:
“Hadis
ini dimaksudkan untuk golongan mayoritasnya. Sifat-sifat tercela itu
sebenarnya sudah dijumpai dalam diri orang-orang pada dua kurun pertama
sesudah para Sahabat ra, tetapi dalam hitungan yang sedikit. Berbeda
dengan mereka, sifat-sifat tersebut dijumpai dalam diri orang-orang yang
hidup *sesudah abad ketiga dalam bilangan yang banyak dan
tersebar*.”[9]
Memang, sejak abad pertama pun,
tepatnya sejak dibunuhnya Khalifah Umar ra yang digelari sebagai pintu
fitnah[10] pada Zulhijah 23 H[11], kekacauan dan konflik internal telah
menimpa sendi-sendi persatuan umat Islam. Pensyahidan Khalifah ‘Utsmān
ra pada Zulhijah 35 H[12], Perang Jamal pada Rabi'ulakhir 36 H[13],
Perang Shiffīn yang berlangsung selama berbulan-bulan pada 37 H[14],
Perang Nahrawan masih pada tahun yang sama[15], serta disyahidkannya
Khalifah Alī ra pada bulan Ramadan 40 H[16] yang menandakan berakhirnya
30 tahun silsilah Khulafā’-ur-Rāsyidīn sebagaimana dinubuatkan dalam
hadis Safinah[17] adalah segelintir dari peristiwa-peristiwa besar yang
merusak persatuan kaum muslimin pada zaman awal. Setelahnya, pembunuhan
Imam ḤHusain ra pada Muharam 61 H[18], Tragedi ḤHarrah pada Zulhijah 63
H[19] serta pembunuhan ‘Abdullāh bin Zubair ra pada Jumadilula 73 H[20]
juga merupakan kejadian-kejadian yang patut diketengahkan.
Namun,
mayoritas kaum muslimin selama tiga kurun pertama belumlah rusak sebab
mereka masih memiliki kesadaran yang tinggi sebagai satu-kesatuan umat
kala dihadapkan dengan musuh. Adz-Dzahabi (w. 784 H) melukiskan
kenyataan itu dengan mengatakan:
*"Para
pemerkata kebenaran berjumlah banyak, para ahli ibadah berlimpah-ruah,
dan orang-orang pun merasakan kelapangan hidup dengan aman.
Tentara-tentara Muhammad SAW dalam jumlah besar terbentang dari ujung
Maghrib dan Jazirah Andalus sampai Afghanistan dan dari sebagian India
sampai Etiopia”*[21]
Barulah setelah lewat 300
tahun dari kebangkitan pertama Nabi Suci SAW, golongan mayoritas dalam
umat mulai memburuk dengan dimasukkanya kekuatan-kekuatan Kristen dalam
perpolitikan kaum muslimin. Hal ini diawali dengan persekongkolan
Dinasti Abbasiyyah di Irak dengan Dinasti Carolongian di Prancis melalui
pertukaran duta besar dan hadiah selama penghujung abad kedua Hijriah,
terutama pada era Ar-Rasyīd dan Al-Ma’mūn, guna melawan Dinasti Umayyah
di Andalusia[22] yang dibalas oleh Dinasti Umayyah lewat persekutuan
dengan Dinasti Byzantium di Turki semasa Abdur-Rahman Al-Ausath pada
permulaan abad ketiga Hijriah[23].
Alih-alih
berhenti, percekcokan internal tersebut justru semakin meruncing dari
tahun ke tahun. Pada 487 H, ibadah haji sempat tidak dilaksanakan karena
para sultan dari kerajaan-kerajaan Islam saling bertentangan[24].
Akibatnya, wibawa dan marwah Islam melemah di mata para musuh. Terbukti,
empat tahun kemudian, persisnya Jumadilula 490 H, pasukan salib
berhasil menaklukkan Antiokia untuk pertama kalinya[25]. Akhirnya,
Yerusalem pun mereka kuasai dengan kekuatan satu juta tentara seraya
membunuhi 70.000 orang-orang Islam[26]. Meskipun Saladin berhasil
merebut kembali Baitulmakdis selepas Perang ḤHittīn pada Rajab 583
H[27], lemahnya keadaan kaum muslimin tidak pernah bisa diperbaiki lagi.
Tidak sampai seabad sesudahnya, Dinasti ‘Abbāsiyah runtuh dengan
dibumihanguskannya Baghdad oleh 200.000 prajurit Mongol di bawah komando
Hulāgu Khān pada Muharram 656 H yang menelan korban sebanyak
800.000-2.000.000 jiwa. Khalifah Al-Mu'tashim sendiri terbunuh pada 14
Safar 656 H dan kuburannya disembunyikan. Bau bangkai yang dihasilkan
dari tumpukan mayat ini mewabah pada tahun yang sama hingga ke
Syiria[28].
*Masa Kebangkitan Islam*
Sejak
saat itu, kelemahan kaum muslimin kian menjadi-jadi. Dalam Surah
As-Sajdah ayat 5, Allah Taala menggambarkan bahwa *zaman kemunduran
Islam tersebut akan berlangsung seribu tahun* sebagaimana
difirmankan-Nya:
“Dia mengatur urusan ini dari
langit ke bumi lalu kembali kepada-Nya pada satu hari yang kadarnya sama
dengan seribu tahun dari apa yang kalian hitung.”
Artinya,
bila ditambahkan seribu tahun setelah 300 tahun era keemasan Islam,
jumlah yang akan didapat adalah 1300 tahun. Dengan kata lain, akhir abad
ke-13 Hijriah merupakan kulminasi dari dekadensi kaum muslimin
seolah-olah matahari Islam telah tenggelam di ufuk barat. Hal ini
terejawantahkan dengan runtuhnya Dinasti Mughāl di India runtuh setelah
Delhi bertekuk lutut terhadap kekuasaan Inggris pada 21 Mei 1857 M atau
1274 H[29].
Sementara itu, Dinasti ‘Utsmāniyyah di Turki jatuh pada 3 Maret 1924 yang bertepatan dengan 1342 H[30].
Oleh
sebab itu, *merupakan suatu keharusan bahwa awal abad ke-14 Hijriah
menjadi waktu diutusnya Nabi Suci Muhammad SAW untuk yang kedua kalinya
melalui kedatangan ‘Īsā as yang dijanjikan sehingga kebangkitan Islam
pada akhir zaman dapat terlaksana seperti pada awal zaman dan matahari
Islam yang telah terbenam tadi dapat diterbitkan kembali.* Akan tetapi,
pertanyaannya, mengapakah hingga kini ‘Īsā as yang dijanjikan itu tidak
kunjung datang?
*‘Īsā as Yang Dahulu Sudah Wafat*
Jawabannya
adalah bahwa sebagian besar orang selama ini telah keliru menganggap
Nabi ‘Īsā as masih hidup di langit. Padahal, menurut Alquranul Karim,
*semua nabi sebelum Nabi Muhammad SAW sudah wafat*. Dalam Surah Āli
‘Imrān ayat 144, Allah Taala berfirman:
“Dan
tiadalah Muhammad itu selain merupakan seorang rasul. Sungguh, *telah
wafat rasul-rasul sebelumnya.* Karenanya, apabila ia meninggal atau
terbunuh, akankah kalian memalingkan diri ke belakang?”
Dalam Surah Al-Anbiyā’ ayat 34, Dia berfirman:
“Dan
tiadalah Kami jadikan seorangpun sebelum engkau untuk tetap hidup.
Karenanya, *apabila engkau meninggal, akankah mereka tetap hidup?”*
Nabi ‘Īsā as sendiri pun menegaskan kematian beliau seperti termaktub dalam Surah Al-Mā’idah ayat 117:
“Dahulu,
Aku adalah saksi bagi pengikutku selagi Aku berada di tengah-tengah
mereka. Namun, *setelah Engkau wafatkan diriku, Engkaulah penjaga atas
mereka*.”
Yakni, selama beliau
masih hidup, orang-orang Kristen belumlah sesat dengan menyekutukan
beliau sebagai anak Tuhan, bahkan Tuhan itu sendiri. *Barulah setelah
beliau wafat, orang-orang Kristen menyimpang dari ajaran yang beliau
bawa.* Berkenaan dengan usia ketika beliau wafat, disebutkan dalam
sebuah hadis ḤHadhrat Fāthimah ra bahwa Hadhrat Nabi Muhammad SAW
bersabda:
“Jibrīl as mengabarkan kepadaku bahwa ‘Īsā as hidup selama 120 tahun.”[31]
*Al-Masīh Al-Mau‘ūd, ḤHadhrat Mīrzā Ghulām Ahmad as.*
Dari
sini, dapat dimengerti bahwa persona yang akan turun pada akhir zaman
bukanlah ‘Īsā as yang dahulu sebab, sebagai orang yang telah mangkat,
beliau ditahan oleh Surah Al-Anbiyā’ ayat 94 untuk kembali ke dunia.
Lantas, apa maksud dari datangnya ‘Īsā as pada akhir zaman sebagai
perwujudan bagi kebangkitan kedua Nabi Muhammad SAW? Ibnu al-Wardī (w.
749 H) menerangkan bahwa yang dimaksud dengan hal tersebut adalah:
“Keluarnya
seseorang yang menyerupai ‘Īsā as dalam kemuliaan dan kehormatan
sebagaimana seorang yang baik hati disebut malaikat dan seorang yang
buruk hati disebut setan semata-mata untuk penyerupaan dan tidaklah
dimaksud dengannya orang-orang yang berlainan.”[32]
Jadi,
‘Īsā as yang dijanjikan akan datang pada akhir zaman sejatinya
merupakan salah seorang dari antara umat Islam yang memiliki keserupaan
rohani dengan ‘Īsā as yang dahulu sehingga ia mendapat gelar Almasih.
Dalam sebuah hadis riwayat Anas ra, dinyatakan bahwa nama lain dari
figur ‘Īsā Almasih as yang dijanjikan tersebut adalah Al-Mahdī
sebagaimana Nabi Muhammad SAW sabdakan:
“Tiada Al-Mahdī selain ‘Īsā bin Maryam as.”[33]
Atas
dasar ini, Pendiri Jamaah Muslim Ahmadiyah, ḤHadhrat Mīrzā Ghulām Ahmad
as mendakwakan diri bahwa beliaulah Almasih dan Al-Mahdī Yang
Dijanjikan pada 1891 M atau 1308 H. Beliau bersabda:
“Aku
telah jelaskan berkali-kali serta nyatakan dengan senyata-nyatanya
bahwa Akulah Almasih dan Al-Mahdī Yang Dijanjikan. Demikianlah apa yang
diperintahkan Tuhanku kepadaku. Aku sama sekali tak berhak untuk
membangkang perintah Tuhanku lalu bergabung dengan golongan para
pendosa.”[34]
Berdasarkan keterangan di atas,
tergenapilah sudah kepengutusan Nabi Suci Muhammad SAW yang kedua kali
dalam sosok ‘Īsā as yang dijanjikan, yaitu ḤHadhrat Mīrzā Ghulām Ahmad
as. Beliaulah yang akan *mempersatukan umat Islam pada akhir zaman* ini
sebagaimana beliau sabdakan:
*“Aku diperintahkan untuk mempersatukan keseluruhan anasir agama Islam.”*[35]
Akan
tetapi, *kemenangan Islam pada akhir zaman ini tidak akan diraih dengan
pertempuran dan peperangan.* Sebaliknya, kejayaan yang kedua kini akan
diperoleh lewat doa dan tanda-tanda samawi. Allah Taala Mahabijaksana
dan Dia mengetahui apa yang dibutuhkan dan dihajatkan manusia dari apa
yang ia sendiri pikirkan. Taktala melihat bahwa kaum muslimin tidak lagi
mempunyai kekuatan duniawi dan bahwa Islam tidak lagi diserang dengan
senjata, tetapi dengan berbagai macam tipu daya yang beberkas di hati,
Dia pun menghendaki agar kaum muslimin dan agama mereka dimenangkan
dengan cara yang sama. Berbicara tentang kenyataan ini, Hadhrat Mīrzā
Ghulām Ahmad as bersabda:
“Ketahuilah!
Sesungguhnya, *doa adalah senjata yang dikaruniakan dari langit untuk
kemenangan zaman ini. Kalian tidak akan menang, kecuali dengan senjata
ini,* wahai orang-orang yang kusayangi! Sungguh, para nabi dari awal
sampai akhir mereka telah mengabarkan tentang senjata ini. Mereka
berkata bahwa *Masīhḥ Mau‘ūd akan meraih kemenangan dengan doa dan
perendahan diri di hadirat ilahi,* tidak dengan pembantaian dan
penumpahan darah umat.”[36]
Kemudian, beliau bersabda:
“Begitulah
ditakdirkannya pada akhir zaman, yaitu zaman Masīhḥ Mau‘ūd yang diutus
dari Tuhan Yang Maha Pemurah bahwa *barisan-barisan perang akan
dilipat.* Kebalikannya, *kalbu akan dimenangkan dengan kata-kata dan
dada akan dilapangkan dengan petunjuk.* Hal ini pun bisa terjadi bahwa
manusia akan dimasukkan ke dalam liang kubur karena wabah penyakit atau
bencana yang lain. Seperti itulah Allah menghendaki supaya Dia
menimpakan kekalahan atas kekafiran dan mengunggulkan agama yang di
langit ia telah unggul.”[37]
Dengan demikian,
melalui perantaraan beliaulah matahari Islam yang telah tenggelam dan
terbenam tadi akan kembali dikokohkan di ufuknya yang tertinggi. Beliau
bersabda:
“Dialah yang telah mengembalikan
melalui diriku matahari Islam setelah sebelumnya ia hampir saja
benar-benar terbenam seolah-olah ia terbit kembali dari tempat
terbenamnya dan muncul bagi para pencari.”[38]
Sekarang,
jika umat Islam ingin bersatu dan mendapatkan kembali kemenangan
sebagaimana didapat oleh kaum awwalīn, tidak ada jalan lagi bagi mereka
selain dengan bergabung kepada Jamaah kaum ākharīn yang didirikan oleh
Almasih dan Al-Mahdī, yaitu Jamaah Muslim Ahmadiyah yang didirikan oleh
ḤHadhrat Mīrzā Ghulām Ahmad as. Tanpanya, umat Islam tidak akan pernah
mampu mencapai kemuliaan yang dijanjikan. Semoga Allah Taala senantiasa
menunjuki kita semua kepada jalan kebenaran yang lurus. Āmīn! (Djunaidi)
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.